FriendFeed
Gratis berlangganan artikel blog Stories17 via mail, join now!

Selingkuh dengan Ketua RT

Share this article on :
Aku tinggal di sebuah kompleks perumahan BTN di Jakarta. Suamiku termasuk orang yang selalu sibuk. Sebagai arsitek swasta, tugasnya boleh dibilang tidak kenal waktu. Walaupun dia sangat mencintaiku, bahkan mungkin memujaku, aku sering kesepian. Aku sering sendirian dan banyak melamun membayangkan betapa hangatnya dalam sepi itu Mas Adit, begitu nama suamiku, ngeloni aku. Saat-saat seperti itulah yang membuat libidoku naik. Dan apabila aku nggak mampu menahan gairah seksualku, aku ambil buah ketimun yang selalu tersedia di dapur. Aku melakukan masturbasi membayangkan dientot oleh seorang lelaki, yang tidak selalu suamiku sendiri, hingga meraih kepuasan.

Yang sering hadir dalam khayalan seksualku justru Pak Parno, Pak RT di kompleks itu. Walaupun usianya sudah di atas 50 tahun, 20 tahun di atas suamiku dan 27 tahun di atas umurku, kalau membayangkan Pak Parno ini, aku bisa cepat meraih orgasmeku. Bahkan saat aku sedang bersetubuh dengan Mas Adit pun, tidak jarang khayalan seksku membayangkan seakan Pak Parnolah yang sedang menggelutiku. Aku nggak tahu kenapa. Tetapi memang aku akui, selama ini aku selalu membayangkan kemaluan lelaki yang gede banget. Nafsuku selalu melonjak kalau khayalanku sampai ke sana. Dari sosoknya yang jangkung dan kekar walaupun sudah tua, aku bayangkan kontol Pak Parno pasti juga kekar. Gede, panjang dan tegar, dilingkari dengan urat-urat di sekeliling batangnya. Ooohh... betapa nikmatnya dientot kontol macam itu...
Di kompleks itu, di antara ibu-ibu atau istri-istri, banyak yang bilang akulah yang paling cantik. Dengan usiaku yang 28 tahun, tinggi 172 cm dan berat 65 kg, orang-orang bilang tubuhku sintal sekali. Mereka bilang aku seperti Sarah Ashari, selebriti cantik nan binal, adik dari Ayu Azhari, bintang sinetron itu. Apalagi kalau aku sedang memakai celana jeans dengan blus tipis yang membuat buah dadaku yang besar dan montok ini membayang. Hatiku selangit mendengar pujian mereka ini...

Pada suatu ketika, tetangga kami punya hajatan, menyunatkan anaknya. Biasa, kalau ada tetangga yang punya kerepotan, kami seRT rame-rame membantu. Apa saja, ada yang di dapur, ada yang mengurus pelaminan, ada yang membuat hiasan atau menata makanan dan sebagainya. Aku biasanya selalu kebagian membuat pelaminan. Mereka tahu aku cukup berbakat seni untuk membuat dekorasi pelaminan itu. Mereka selalu puas dengan hasil karyaku.

Aku menggunakan bahan-bahan dekorasi yang biasanya aku beli di Pasar Senen. Pagi itu ada beberapa bahan yang aku butuhkan belum tersedia. Di tengah banyak orang yang pada sibuk macam-macam itu, aku bilang pada Mbak Surti, yang punya hajatan, untuk membeli kekurangan itu.

"Kebetulan Bu Mar, tuh Pak Parno mau ke Senen, mbonceng saja sama dia..." Bu Kasno memberitahuku sambil menunjuk Pak Parno yang tampak paling sibuk di antara bapak-bapak yang lain.

"Emangnya Pak Parno mau cari apaan?" dengan dag-dig-dug aku menghampirinya.

"Inii, mau ke tukang tenda, milih bentuk tenda yang mau dipasang nanti sore. Sekalian sound systemnya..." Pak Parno menjawab tanpa menengok ke arahku.

"Iya deh... aku pulang ‘bentar ya Pak Parno. Biar aku titip kunci rumah buat Mas Adit kalau pulang nanti..."

Percakapan kami berjalan seperti air mengalir tanpa menjadikan perhatian pada orang-orang yang sibuk bekerja di situ. Sekitar 10 menit kemudian, dengan celana jeans dan blus kesukaanku, aku sudah duduk di bangku depan, mendampingi Pak Parno yang mengemudi Kijangnya. Udara AC di mobil Pak Parno terasa sangat nyaman sesudah sepagi itu diterpa panasnya udara Jakarta. Pelan-pelan terdengar alunan dangdut dari radio Mara yang terdapat di mobil itu.

Saat itu aku jadi ingat kebiasaanku mengkhayal. Dan sekarang ini aku berada dalam mobil hanya berdua dengan Pak Parno yang sering hadir sebagai obyek khayalanku dalam hubungan seks. Tak bisa kutahan, mataku melirik ke arah selangkangan di bawah kemudi mobilnya. Dia pakai celana drill coklat muda. Aku lihat di arah pandanganku itu tampak menggunung. Aku nggak tahu apakah “itu”? Tetapi khayalanku langsung membayangkan, “itu” mungkin kontolnya yang gede dan panjang. Saat aku menelan ludahku membayangkan apa yang ada di balik celana itu, tiba-tiba tangan kiri Pak Parno menepuk pahaku.

"Dik Marini mau beli apaan? Belinya di Senen sebelah mana?" sambil dia sertai pertanyaan ini dengan nada kebapakan. Dan aku bener-bener kaget, lho! Aku nggak pernah membayangkan Pak RT ini kalau bertanya ternyata sambil meraba yang ditanya.

"Kertas emas dan hiasan dinding, Pak. Di sebelah toko mainan di pasar inpress ituu..."

Walaupun jantungku langsung berdegup kencang dan nafasku terasa sesak memburu, aku masih berusaha menganggap tindakan Pak Parno di pahaku ini adalah hal yang wajar. Tetapi rupanya Pak Parno nggak berniat mengangkat lagi tangannya dari pahaku, bahkan ketika dia jawab balik,

"Ooo, yyaa.. aku tahu...' Tangannya kembali menepuk-nepuk pahaku, seakan sentuhan seorang bapak yang melindungi anaknya. Ooouuiihh.. aku merasakan kegelian yang sangat, aku langsung merasakan desakan erotik, mengingat dia selalu menjadi obyek dalam setiap khayalan seksualku.

Dan tangan itu pun mulai nakal. Saat Pak Parno menggerakkan tangannya menuju pangkal pahaku, reaksi spontanku menarik kembali tangannya. Dia ulangi lagi, dan aku kembali menariknya. Begitu seterusnya. Anehnya aku hanya menariknya balik, bukan menepisnya. Yang aku rasakan saat ini, aku ingin tangan kekar itu memang tidak diangkat dari pahaku. Hanya aku masih belum siap untuk kemungkinan yang lebih jauh. Nafasku yang langsung tersengal dan jantungku yang berdegap-degup kencang belum siap menghadapi kemungkinan yang lebih menjurus.

Pak Parno mengalah. Tetapi bukan mengalah sepenuhnya. Dia tidak lagi memaksakan tangannya untuk menggapai ke pangkal pahaku, tetapi dia rubah gerakannya. Tangan itu mulai meremas-remas pahaku. Gelombang nikmat erotik langsung menyergapku. Aku mendesah tertahan. Aku menjadi lemas, tak punya daya apa-apa. Aku biarkan saja tangannya meremasi pahaku.

"Dik Maarr..." dia berbisik sambil menengok ke arahku.

Tiba-tiba di depan melintas bajaj, memotong jalan. Pak Parno sedikit kaget. Otomatis tangannya melepas pahaku, meraih presnelling dan melepas injakan gas. Kijang ini seperti terangguk. Sedikit tubuhku terdorong ke depan. Selepas itu tangan Pak Parno dikonsentrasikan pada kemudi. Jalanan ke arah Pasar Senen yang macet membuat pengemudi harus sering memindah presnelling, mengerem, menginjak gas dan mengatur kopling.

Aku senderkan tubuhku ke jok. Aku nggak banyak ngomong. Aku ingin tangan Pak Parno itu kembali ke pahaku. Kembali meremas-remas. Dan seandainya tangannya itu merangkak ke pangkal pahaku akan kubiarkan. Aku kini disesaki oleh syahwat birahi yang menggelora. Mataku kututup untuk bisa lebih menikmati apa yang barusan terjadi dan membiarkan pikiranku mengkhayal jauh ke awan.

Apa yang kuinginkan pun benar terjadi. Sesudah jalanan agak lancar, tangan Pak Parno kembali ke pahaku. Aku mendiamkannya. Aku merasakan kenikmatan yang tadi datang, kini terjadi kembali. Jantungku pun seketika berdegup kencang, terpacu oleh birahiku. Dan nafasku tiba-tiba saja menjadi sesak, dipenuhi rangsangan birahi akibat remasan liar di pahaku itu.

Merasakan lampu hijau dariku, langsung saja tangan Pak Parno meremas-remas pahaku. Dan tangan yang nakal itu mulai merayap naik ke pangkal pahaku, ke arah selangkanganku. Kucoba untuk menahan tangannya. Eeeii... malahan tanganku ditangkapnya dan diremas-remasnya. Dan aku pun pasrah. Aku merespon remasannya. Rasanya nikmat untuk menyerah pada kemauan Pak Parno. Aku hanya menutup mata dengan tetap bersender di jok, sementara remasan tangannya di tangan dan pahaku jalan terus.

Sesekali aku menyeletuk, "Entar dilihat orang lho Pak"

"Ah, nggaakk mungkin... kaca mobilnya khan gelap. Orang nggak bisa melihat ke dalam..." timpalnya.

Aku percaya dengan apa yang dia katakan. Sesudah beberapa saat meremasi paha dan tanganku, rupanya Pak Parno tak tahan juga. Desakan birahi dalam dirinya tampaknya mulai menggelora.

"Dik Mar.. kita jalan-jalan dulu mau nggak?" dia bertanya dengan nada berbisik dan sebelah matanya disipitkan.

"Ke mana Pak..?" pertanyaanku yang disertai harapan dan impianku.

"Ada deh.. Pokoknya Dik Mar mau khan...?" tanyanya lagi sambil tersenyum nakal.

"Terserah Pak Parno... Tapinya entar ditungguin orang-orang... entar orang-orang curiga lho" sahutku balas tersenyum.

"Iyaa, jangan khawatirr... paling lama sejamlah..." Masih sambil tersenyum, dia mengedipkan mata kirinya kepadaku lalu mengarahkan kemudinya ke tepi kanan mencari arah belokan. Aku nggak ingin bertanya padanya "Mau ngapain sejam?"

Persis di bawah jembatan penyeberangan dekat daerah Galur, Pak Parno membalikkan mobilnya kembali menuju arah Cempaka Putih. Ah... Pak Parno, pasti sudah biasa dengan hal begini. Mungkin sama perempuan atau istri orang lainnya. Aku tetap bersandar di jok sambil menutup mataku pura-pura tiduran. Dengan penuh gelora dan degupan kencang jantungku, aku berusaha menghadapi kenyataan bahwa beberapa saat lagi, mungkin hanya dalam hitungan menit, aku akan mengalami saat-saat yang sangat menggetarkan. Saat-saat indah dan nikmat seperti yang sering aku khayalkan. Aku nggak bisa lagi berpikir jernih. Edan juga aku ini... apa kekurangan Mas Adit, kenapa demikian mudah aku menerima ajakan selingkuh Pak Parno ini. Bahkan sebelumnya, belum pernah sekalipun selama 8 tahun pernikahan aku disentuh apalagi digauli lelaki lain.

Yang aku rasakan sekarang ini hanyalah aku merasa aman dekat dengan Pak Parno. Pasti dia akan menjagaku dan melindungiku. Pasti dia akan memperlakukanku dengan halus, mesra, dan lembut. Bagaimana pun dia adalah Pak RT kami yang selama ini selalu mengayomi dan melindungi warganya. Pasti dia nggak akan merusak citranya sendiri dengan perbuatan yang dapat membuat aku sakit atau terluka. Dan rasanya aku ingin sekali bisa melayani dia yang selama ini selalu menjadi obyek khayalan seksualku. Biarlah dia bertindak sesuatu padaku sepuasnya.

Aku sendiripun penasaran, bagaimana caranya memuaskanku, bagaimana staminanya di atas tempat tidur? Bagaimana juga dengan ukuran kontolnya? Apakah sama dengan yang selama ini ada dalam khayalanku? Aku pun menjadi gemetar. Tangan-tanganku gemetar. Lututku gemetar. Kepalaku terasa panas. Darah akibat desakan birahi yang naik ke ke kepalaku membuat wajahku bengap. Dan semakin mobil mendekat ke tujuannya, semakin yakin diriku. Aku tidak mungkin menolak lagi ajakan "jalan-jalan dulu" Pak Parno ini.

Tiba-tiba mobil terasa membelok ke sebuah tempat. Ketika aku membuka mata, aku lihat halaman yang asri penuh pepohonan. Di depan mobil tampak seorang petugas berlarian menuntun Pak Parno menuju ke sebuah garasi yang terbuka. Dia acungkan tangannya agar Pak Parno langsung memasuki garasi berpintu rolling door itu, yang langsung ditutupnya ketika mobil telah yakin berada di dalam garasi itu dengan benar. Sedikit gelap. Ada cahaya kecil di depan. Ternyata lampu di atas sebuah pintu yang tertutup. Woo... aku agak panik sesaat. Tak ada jalan untuk mundur. Kemudian kudengar Pak Parno mematikan mesin mobilnya.

"Nyampai nih Dik Mar..." ujar Pak Parno menatapku dengan senyuman nakal.

"Di mana ini Pak ..?" terus terang aku nggak tahu di mana tempat ini.

Tetapi aku yakin inilah jenis "motel" yang sering aku dengar dari teman-teman dalam obrolan-obrolan porno di setiap acara arisan yang diselenggarakan ibu-ibu di kompleks itu.

Pak Parno tidak menjawab pertanyaanku, tangannya langsung menyeberang melewati pinggulku untuk meraih setelan jok tempat dudukku. Jok itu langsung bergerak ke bawah dengan aku tergolek di atasnya. Dan yang kurasakan berikutnya adalah bibir Pak Parno yang langsung melumat bibirku. Uh..uh..uh.. Aku tergagap sesaat.. sebelum akhirnya aku membalas lumatannya. Kami menjadi lepas kontrol. Aku merasakan lidahnya yang kasar menyeruak ke rongga mulutku. Dan reflekku adalah menghisapnya. Lidah itu menari-nari di rongga mulutku.

Aroma keringat Pak Parno langsung menyergap hidungku. Beginilah rasanya aroma lelaki macam Pak Parno ini. Aroma alami tanpa parfum seperti yang sering dipakai Mas Adit. Aroma tubuh Pak RT yang telah berusia 55 tahun tetapi tetap memancarkan nuansa kejantanan yang selama ini selalu menyertai khayalanku saat bermasturbasi maupun saat aku disetubuhi Mas Adit. Aroma hewaniah yang bisa langsung menggebrak libidoku, sehingga nafsu birahiku lepas dengan liarnya saat ini...

Sambil melumat, tangan-tangan berotot Pak Parno turut merambah tubuhku. Jari-jemarinya berusaha melepaskan kancing-kancing blusku. Kemudian kurasakan remasan jari-jemari kasar itu pada buah dadaku. Uuiihh... nikmatnya tak tertahankan. Aku menggelinjang-gelinjang. Menggeliat-geliat keenakan sehingga pantatku turut naik-turun dari jok yang aku duduki disebabkan oleh gelinjang nikmat yang dahsyat ini. Sekali lagi aku merasa edaann... aku digeluti Pak RTku sendiri.

Bibir seksi Pak Parno terus melumatku, dan aku menyambutnya dengan sepenuh kerelaan hati. Akulah yang sesungguhnya menantikan kesempatan semacam ini dalam setiap khayalan-khayalan erotikku. Ohh.. Pak Parnoo.. Tolongin akuu Pakee.. Puaskanlah akuuu.. Paak.. Puaskaann dirikuu... jilati tetekku... leherku... perutku... pantatku... memekku... pahaku... semuanya... semua ini untukmu Paak... Aku hauss... Paak... Tulungi akuu Paakk...
Tak lama kemudian, Pak Parno tiba-tiba menghentikan lumatannya.

"Kita turun dulu yuk Dik Mar... kita masuk dulu..." ajak Pak Parno dengan suara parau, akibat birahi yang menguasainya.

Begitu masuk ke dalam motel, kami berdua langsung diterpa udara dingin khas AC. Motel ini ternyata bagus juga. Selain berpendingin udara, di sana ada seperangkat televisi, pemutar DVD dan cermin besar dekat tempat tidur. Tempat tidurnya pun besar, ukuran spring bed. Di dekatnya ada meja pendek dengan tiga buah kursi di sekelilingnya. Begitu masuk kudengar telepon berdering dari meja itu. Rupanya dari bagian resepsionis motel itu. Pak Parno menawarkan makanan atau minuman apa yang aku inginkan? yang bisa diantar oleh petugas motel itu ke dalam kamar. Aku menyerahkannya ke Pak Parno saja. Aku sendiri buru-buru ke kamar kecil yang tersedia. Aku kebelet ingin kencing.
Saat kembali ke peraduan kulihat Pak Parno sudah telentang di atas ranjang. Agak malu-malu aku keluar dari kamar kecil ini, apalagi setelah melihat sosok tubuh Pak Parno itu. Dia menatapku dari ekor matanya, kemudian memanggil mesra, "Sini Dik Mar..."

Uh... uh... uh... Omongan seperti itu.. masuk ke telingaku pada saat-saat begini... aku merasakan betapa panggilan itu sangat merangsang syaraf-syaraf libidoku. Aku, istri yang sama sekali belum pernah disentuh lelaki lain kecuali suamiku, hari ini dengan edannya berada di kamar motel dengan seseorang, Pak Parno, Pak RT kompleks rumahku, yang jauh lebih tua dari suamiku, bahkan hampir 2 kali usiaku sendiri. Dan panggilannya... "Sini Dik Mar..." itu terdengar sangat erotis di telingaku.

Aku inilah yang disebut istri yang menyeleweng. Aku inilah istri yang selingkuh... uh uh... uh... Kenapa begitu dahsyat birahi yang melandaku kini. Birahi yang didongkrak oleh pemahaman akan makna kata "selingkuh" dan aku tetap melangkah ke dalamnya. Birahi yang dibakar oleh pengertian kata "menyeleweng" dan aku terus saja melanggarnya. Uhh... aku nggak mampu menjawab semuanya kecuali rasa pasrah yang menjalar... tanpa ragu aku mendekat ke arah Pak Parno, yang disambut senyuman mesra oleh lelaki gagah itu.

Dan saat aku rubuh ke ranjang itu, ketika Pak Parno menjemputku dengan dekapan mesra di dadanya, aku sudah benar-benar tenggelam dalam pesona dahsyatnya seorang istri yang menyeleweng, yang berselingkuh, dan tidak sabar menunggu momen-momen berikutnya. Momen yang pasti akan memenuhi khayalan seksualku. Kerinduan akan kenikmatan dan kepuasan seksual, yang belum pernah dirasakan penyeleweng pemula seperti aku ini.

"Dik Mar.. Aku sudah lama merindukan Dik Mar ini... Setiap kali aku lihat gambar bintang film Sarah Ashari yang mirip Dik Mar.. Hatiku selalu terbakar.. Kapan kiranya aku bisa memeluk Dik Mar macam ini.." terdengar pujian Pak Parno sambil menatapku mesra.

Bukan main ucapan Pak Parno. Telingaku seperti tersiram air sejuk pegunungan. Berbunga-bunga mendengar pujian seindah itu. Dan semakin membuatku rela untuk digeluti Pak Parno yang gagah ini. Pak Parnoo.. Kekasihkuu.. Dia segera berbalik dan menindih tubuhku. Dia langsung melahap mulutku yang seketika gelagapan, kesulitan bernafas. Dia masukkan tangannya kembali ke blusku. Dirangkulinya tubuhku, ditekankannya bibir seksinya lebih menekan lagi ke bibirku. Disedotnya lidahku. Disedotnya sekaligus ludahku. Sepertinya aku ingin dijadikan minumannya. Dan sungguh aku menikmati kegilaannya ini.

Tak lama, tangannya dia alihkan, meremas-remas kedua susuku. Hanya sebentar dia melakukannya. Gantian bibirnya yang menjemput susuku dan puting-putingnya. Dia jilat dan sedot-sedot permukaan kulitnya. Dia gigiti payudaraku dengan rakusnya. Saat barisan giginya yang putih dan rapi itu mengigiti payudaraku dan puting-putingnya, yang datang padaku adalah gelinjang nikmat dari saraf-saraf birahiku yang meronta-ronta. Aku nggak mampu menahan gelinjang ini, diiringi dengan rintihan yang terus-menerus keluar dari mulutku, "Pakee.. Pakee.. Pakee.. Ampuuun nikmattnya Pakee..."

Tangannya yang lepas dari susuku turun untuk meraih celana jeansku. Dilepaskannya kancing celanaku dan dibuka resluitingnya. Jari-jemarinya yang besar dan kasar itu mendorongnya hingga celanaku merosot ke paha. Kemudian tangan itu merogoh celana dalamku. Aaaiiuuhh... tak terperikan kenikmatan yang mendatangiku. Aku tak mampu menahan getaran jiwa dan ragaku, yang melayang ke langit-langit kenikmatan tak terhingga. Saat jari-jemari itu meraba-raba bibir kemaluanku dan kemudian meremas-remas kelentitku.. aku pun seakan melayang tambah tinggi ke wahana kenikmatan seksual tak bertepi. Kenikmatan.. sepuluh kenikmatan.. ah.. jutaan kenikmatan Pak Parno berikan padaku lewat jari-jemarinya itu.

Jari-jemari itu juga berusaha merambahi lubang memekku. Aku rasakan ujungnya-ujungnya bermain di bibir lubang itu. Cairan birahiku yang sudah menjalar sejak tadi dia toreh-toreh sebagai pelumas untuk memudahkan jari-jemarinya menembus ke lubang itu. Dengan bibir yang terus melumati susuku dan jari-jemarinya yang terus dimainkan di bibir lubang memekku.. Ohh.. kenapa aku ini.. Ooohh.. Mas Adit.. maafkanlah akuu.. Ampunilahh.. istrimu yang nggak mampu mengelak dari kenikmatan tiada bertara ini.. ampunilaah aku Mas Adit.. aku telah menyelewengg.. aku nggak mampuu maass…

Pak Parno terus menggumuli tubuhku. Blusku yang sudah berantakan memudahkan dia merambah ketiakku. Dia jilat dan sedot-sedot ketiakku, secara bergantian. Dia tampak sekali menikmati rintihan nikmat yang terus keluar dari mulutku. Dia tampaknya ingin memberikan sesuatu yang nggak pernah aku dapatkan dari suamiku. Sementara jari-jemarinya terus menerus mengerjai lubang memekku. Dinding-dindingnya yang penuh saraf-saraf birahi dia kutak-katik, sehingga aku hampir pingsan dilanda badai kenikmatan. Dan tak terbendung lagi, cairan birahiku pun mengalir dengan derasnya.

Yang semula satu jari, dua jari, kini disusul dengan jari lainnya. Kenikmatan yang aku terima pun bertambah. Pak Parno tahu persis titik-titik kelemahan erotis kaum perempuan. Jari-jemarinya mengarah pada G-spotku. Dan tak ayal lagi, hanya dengan jilatan di ketiak dan telusuran jari-jemari kasarnya di lubang memekku, aku tergiring sampai ke titik di mana aku nggak mampu lagi membendungnya. Untuk pertama kalinya disentuh oleh lelaki, lelaki yang bukan suamiku pula, Pak Parno berhasil membuatku orgasme.

Saat orgasme itu datang, kupeluk erat-erat tubuh Pak Parno. Kepalanya kuraih dan kuremas-remas rambutnya. Kuhujamkan kukuku ke punggungnya. Aku nggak lagi memperhitungkan akan luka dan rasa sakit yang mungkin ditanggung Pak Parno. Pahaku menjepit erat tangannya, sementara pantatku bergerak liar, tak sabar menginginkan rambahan jari-jemarinya agar lebih dalam menembus ke lubang memekku. Lubang surgaku yang sedang menanggung kegatalan birahi yang amat dahsyat. Tingkahku itu, terus menerus diiringi rintihan nikmat dari mulutku.

Dan saat orgasme itu datang, aku berteriak histeris. Tangan-tanganku menjambret apa saja yang bisa kuraih. Bantalan ranjang itu teraduk. Selimut tempat tidur itu terangkat lepas dan terlempar ke lantai. Kakiku mengejang menahan kedutan memekku yang memuntahkan cairanku. “Sperma” perempuan yang berupa cairan-cairan bening, keluar menderas dari kemaluanku. Keringatku yang mengucur deras mengalir ke mata, pipi, dan ke bibirku. Kusibakkan rambut panjangku untuk mengurangi gerahnya tubuhku dalam kamar ber-AC ini.

Saat kenikmatan itu telah reda, kurasakan tangan Pak Parno sedang mengusap-usap rambutku yang basah sambil menciuminya dengan penuh kasih sayang. Uh.. uh.. uh.. dia benar-benar mengayomi aku. Dia mengelus-elus dahiku, dia sisiri rambutku dengan jari-jemarinya. Hawa dingin terasa kembali merasuki kepalaku. Dan akhirnya tubuhku mulai merasakan kembali sejuknya AC di kamar motel itu.

"Dik Mar, Dik Mar hebat sekali yaahh.. Keluarnyaahhh... Istirahat dulu yaa..?! Saya ambilkan minum dulu yaahh.." tawar Pak Parno dengan suara lembut, menimbulkan perasaan nyaman dan teduh.

Aku nggak menjawabnya. Nafasku masih tersengal-sengal. Aku nggak pernah menduga bahwa aku akan mendapatkan kenikmatan sehebat ini. Kamar motel ini telah menyaksikan bagaimana aku mendapatkan kenikmatan yang pertama kalinya. Saat aku menyeleweng dari Mas Adit. Dengan Pak Parno, Pak RT di kampungku. Pria yang sering menjadi lawan tanding catur dan voli suamiku di saat-saat senggang. Mas Adit.. Ooohh.. maass.. maafkanlah aakuu.. maass..

Sementara saat aku masih terbaring letih di atas ranjang sesudah orgasmeku tadi, Pak Parno terus saja menciumi wajahku. Dia sapukan wajahnya ke atas perutku. Lidahnya pun menjilati keringatku. Tangannya tak henti-hentinya meraba-raba selangkanganku dengan gerakan lembut. Aku terdiam. Aku perlu mengembalikan staminaku. Mataku memandangi langit-langit kamar motel itu. Menembus atapnya hingga ke awang-awang. Kulihat Mas Adit sedang sibuk di depan meja gambarnya, sebentar-sebentar stip Staedlernya menghapus garis-garis gambaran pensilnya yang mungkin disebabkan salah tarik.

Mungkin semua ini hanyalah soal perlakuan. Hanyalah perlakuan Mas Adit yang sepanjang perkawinan kami tidak sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan biologisku. Lihat saja Pak Parno barusan. Hanya dengan lumatan bibirnya pada ketiakku dan rambahan jari-jemarinya di kemaluanku, mampu membuatku orgasme. Sementara kamu, Mas! setiap kali kamu menggumuliku segalanya berjalan terlampau cepat, seakan-akan kamu diburu-buru oleh pekerjaanmu sendiri. Dikejar-kejar tuntutan tugasmu semata. Lalu kamu peroleh kepuasanmu begitu cepat.

Sementara saat nafsuku mulai menggelegak dan minta dituntaskan, kamu sudah turun dari ranjang dengan berbagai alasan. Ada yang harus diselesaikanlah, si anu sedang menunggu, atau si anu besok mau pergi, dan sebagainya. Kamu ternyata sangat egois. Kamu biarkan aku tergeletak menderita. Menunggu kenikmatan birahi darimu, sama saja bohong. Menunggu Mas Adit memuaskanku sama saja menunggu salju di Jakarta. Sepertinya aku menunggu godotku... menunggu sesuatu yang aku tahu nggak akan pernah datang padaku...

"Dik Marni capek ya?" suara lembut Pak Parno menyadarkanku dari lamunan.
"Nggak Pak. Lagi istirahat saja.. Tadi koq nikmat sekali yaa.. aku sudah nyerah, padahal baru pemanasan saja.. Pakee.. Pak Parno juga hebat lhoo.. Baru di kutak-katik saja aku sudah kelabakan.. apalagi kalau aku dientot... Hi.. hi.. hi.." aku berusaha menunjukkan pada Pak Parno, betapa berterima kasihnya diriku setelah digumulinya tadi.

Rupanya Pak Parno hanya ingin tahu bahwa aku nggak tertidur. Mendengar jawabanku tadi dengan penuh semangat dia turun dari ranjang. Pak Parno mulai melepaskan pakaiannya. Mula-mula dia lepaskan kemejanya, kaus dalam, celana panjang dan terakhir celana dalamnya. Baru kali ini aku melihat lelaki lain telanjang bulat di depanku selain Mas Adit. Wuuiihh.. aku sangat tergetar menyaksikan tubuhnya itu.

Di usianya yang 55 tahun lebih itu, Pak Parno masih memiliki tubuh yang sangat seksi untuk lelaki seumurannya. Bahunya bidang, lengannya kekar, dan bisepnya tebal. Perutnya nggak tampak membesar, rata dan kencang, bak papan penggilasan. Bukit dadanya yang kokoh, dihiasi dua puting susu besar berwarna hitam, sangat menantang! Seakan tak sabar menunggu jilatan dan gigitan para perempuan binal. Terakhir, pinggang dan pinggulnya bagus, terpahat sempurna. Dari sosoknya yang macho, aku bisa saksikan kalau Pak Parno ini olahragawan yang fanatik. Otot-otot kekar yang bersembulan di tubuhnya, menunjukkan dia sukses berolahraga selama ini.


Pandanganku terus meluncur ke bawah. Dan yang paling membuatku serasa pingsan adalah... kontolnya!!! Aku belum pernah melihat kontol lelaki lain, tapi kontol yang kusaksikan saat ini begitu indah, sangat mempesona. Kontol Pak Parno itu gede, panjang dan keras. Kepalanya yang tumpul seperti helm tentara Nazi, tampak berkilatan. Sangat menantang. Dengan sobekan lubang kencingnya yang gede, kontol itu seakan menantang mulut dan kemaluan para perempuan binal yang ingin melahapnya.

Sesudah telanjang, Pak Parno naik kembali ke atas ranjang. Dia berusaha melucuti pakaianku; celana jeansku yang sejak tadi masih di menempel di kakiku, kemudian blus dan kutangku turut dilepasnya. Tak lama aku pun sudah telanjang bulat. Pak Parno langsung saja rebah di antara pahaku. Kepalanya tepat menyungsep di selangkanganku. Lalu lidahnya yang nakal kembali beraksi, menjilati kemaluanku. Waduuiihh .. Ampunn.. Kenapa cara begini ini nggak pernah aku dapatkan dari Mas Aditt..

Lidah kasar Pak Parno menusuk dan menjilati memekku. Bibir-bibir kemaluanku disedot-sedotnya. Ujung lidahnya berusaha menembus lubang memekku. Pelan-pelan nafsuku terpancing kembali. Lidah yang menusuk lubang memekku itu membuatku merasakan kegatalan birahi yang hebat. Tanpa kusadari tanganku menyambar kepala Pak Parno dan jariku meremas-remas kembali rambutnya sambil mengerang dan mendesah-desah untuk kenikmatan yang terus mengalir. Tanganku juga menekan-nekan kepala itu agar tenggelam lebih dalam ke selangkanganku. Aku semakin gila dilanda kegatalan birahi akibat ulah nakalnya ini. Pantatku juga ikut naik-turun menjemput lidah di lubang memekku itu.
Tak lama kemudian, Pak Parno memindahkan dan mengangkat kakiku untuk ditumpangkan pada bahunya. Posisi seperti itu merupakan posisi yang paling mudah bagi Pak Parno maupun bagi aku. Dengan sedikit tenaga aku bisa mendesak-desakkan kemaluanku ke mulut Pak Parno, dan sebaliknya Pak Parno tidak perlu kelelahan untuk terus mengeksplorasi kemaluanku. Terdengar suara kecipak mulut Pak yang beradu dengan bibir kemaluanku. Dan desahan Pak Parno dalam merasakan nikmatnya kemaluanku tak bisa disembunyikan.

"Mmhhh... mmhhh... enak... sekaliii... mmmhhh... memekmuuhhh... Dik... Maarrhhh..."

Posisi ini membuat kegatalan birahiku semakin tak terhingga membuatku menggeliat-geliat tak tertahankan. Pak Parno sibuk memegang erat-erat kedua pahaku yang dia panggul. Aku tidak mampu berontak dari pegangannya. Dan sampai pada akhirnya di mana Pak Parno sendiri juga tidak tahan. Rintihan serta desahan nikmat yang keluar dari mulutku, membuat nafsu birahi lelaki gagah ini menjadi kian tak terbendung.

Sesudah menurunkan kakiku, tubuh seksi Pak Parno langsung merangkaki tubuhku. Digenggamnya kontolnya, diarahkan secara tepat ke lubang kemaluanku. Aku sungguh sangat menunggu detik-detik ini. Detik-detik di mana bagiku untuk pertama kalinya aku mengijinkan kontol orang lain selain suamiku merambah dan menembus memekku. Seluruh tubuhku kembali bergetar, seakan terlempar ke awang-awang nun jauh di sana. Sendi-sendiku bergetar.. tak sabar menunggu kontol Pak Parno menembus kemaluanku.. Aku hanya bisa pasrah.. Aku nggak mampu lagi menghindar dari penyelewengan penuh nikmat ini... Maafin aku Mas Adit..

0 comments — Skip to Comment

Post a Comment — or Back to Content